24 Mei 2013
Hari ini saya bertekad tidak akan naik becak. Tadinya mau sewa sepeda gunung atau onthel, tapi dengan lugu saya tinggalkan KTP-ku di hotel. Lalu ego saya menolak semua tukang becak yang menawarkan jasanya. Saya biasa dan senang jalan kaki!
Tapi ternyata, kota ini lebih sulit ditaklukkan oleh kaki daripada yang saya bayangkan. Bukannya tak ada trotoar atau banyak pengendara motor yang menyebalkan seperti di Jakarta. Bukan karena tak ada papan-papan penunjuk jalan yang dapat menghindarkanku dari ketersesatan. Yang membuat saya tak sanggup berjalan lebih dari tigapuluh menit bukan itu. Tapi panasnya! Panasnya luar biasa, lembab dan menyengat. Tidak membakar, tapi menguapkan energi dengan sangat cepat.
***
Saat melangkahkan kaki memasuki gerbang pelataran luar Kraton, seluruh sendi saya menyerah. Suara seorang bapak yang sedang menembang membelai indera, mengelus telinga. Kursi-kursi kayu yang berderet di hadapan sang bapak pasti bekerjasama dengan beliau, karena saya langsung duduk dan bertahan.
Seni pemanja telinga ini namanya macapat. Puisi tradisional Jawa dari sekitar abad ke-14. Di pelataran luar ini seorang bapak Abdi Dalem Kraton duduk bersila di atas tikar, berbatik dan berdestar, lengkap dengan blangkon coklatnya. Pada tengkuknya ia gantungkan samir hingga ke dada. Walau tak terlihat, saya yakin ada sebilah keris diselipkan di bagian belakang pinggang. Di sampingnya tampah bambu berisi bunga-bungaan diletakkan di atas daun pisang, bersama tungku masak dari tanah liat yang menampung beberapa potong arang. Di hadapannya sebuah meja kayu rendah, dimana sebuah buku setebal 6 cm dibuka, memampangkan deretan huruf Jawa kuno yang membentuk larik-larik macapat.
Dengan bantuan lampu minyak dan mikrofon modern serupa milik studio musik beliau menembang, membacakan tiap wanda, tiap gatra dalam alunan yang apik terlatih, mungkin hasil pengabdian seumur hidupnya. Kedengarannya seperti nyanyian sindhen yang diiringi gamelan, yang mungkin lebih populer pada zaman ini. Bedanya, dalam pembacaan macapat ini, suara yang dikeluarkan lebih kuat dan tidak ada musik yang mengiringi.
Saya dengarkan lantunannya dengan manja, tak mau beranjak dari kursi hingga ia selesai. Suara bapak ini terlalu menawan untuk ditinggalkan. Saya simak kata-kata yang melantun lentur sarat nada, dengan rasa penasaran sekaligus penuh penyesalan mengapa saya tak bicara Jawa. Di kehidupan berikutnya saya akan jadi perempuan Jawa-Sunda-Mandailing yang bicara bahasanya, supaya bisa berbincang dengan saudara seasal dan tak lagi malu karena tak mengerti dasar budaya suatu peradaban. Lamunan saya tentang bahasa Jawa tiba-tiba lebur akibat sebuah ketukan lembut di bahuku. Rupanya saya jatuh tertidur.
***
Saya seperti tidak berada di negeri sendiri. Gila betul sulitnya menyewa motor dan sepeda di Yogyakarta. Saya tinggal di Jalan Prawirotaman atas saran beberapa teman dan benar, suasananya bersahabat dan cukup mudah mencari keperluan. Hanya hari ini saya kelabakan mencari sewa motor untuk dikendarai bersama teman, karena beda tempat beda persyaratan tapi sama repotnya:
- Tempat 1: minta KTP dan NPWP
- Tempat 2: minta KTP dan Kartu Keluarga dan uang jaminan DAN kopi SIM B
- Tempat 3: minta KTP dan uang jaminan 2,5 juta
- Tempat 4: minta paspor (hanya menyewakan ke turis asing)
Saya tak tahu mana yang paling gila, mungkin tempat 2 atau 4. Maksudku, siapa pula yang bawa Kartu Keluarga saat jalan-jalan? Saya tanyakan mengapa persyaratan begitu sulit, dan jawabannya hanya “Memang begini mbak.” Jadi rasa frustrasiku “sangat” terhibur. Tebakanku, mungkin di masa lalu banyak kejadian seperti pencurian atau pengrusakan, yang membuat penyewaan harus diperketat. Luar biasa birokrasi rakyat disini. Birokrasi turis tepatnya. Saya mulai kelimpungan karena tak bisa menyewa motor untuk ke peringatan Hari Waisak di Candi Borobudur besok. Untung setelah menghubungi seorang teman yang asli kota ini, saya bisa pergi dengannya.
***
Busrt nie….naik motor dari jogja ke borobudr. Badass bgt loe
LikeLike
Dibonceng Tom, gw ga bisa naik motor haha..
LikeLike