Akhir-akhir ini di Indonesia bermunculan bisnis carbon offsetting—penjualan kredit karbon dari kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca–oleh UKM (start-up) baru hingga yang sudah jadi unicorn. Program-program carbon offsetting ini tampaknya disambut oleh generasi konsumen muda yang sadar pentingnya melestarikan lingkungan dan hidup yang berkelanjutan. Kesadaran kelompok konsumen ini jauh lebih besar daripada generasi sebelumnya, salah satu sebabnya tentu banyaknya informasi di media sosial dan internet mengenai emisi gas rumah kaca/jejak karbon yang kita hasilkan sebagai individu–serta apa yang bisa kita lakukan untuk menguranginya.
Tren bisnis ini positif. Carbon offsetting dan penggunaan kredit karbon bisa sangat berperan dalam membantu usaha kita bersama mengurangi emisi gas rumah kaca, melindungi lingkungan, dan bahkan membangun kembali dengan hijau. Tapi carbon offsetting perlu dilakukan dengan hati-hati, karena karbon kredit harus transparan, kredibel, akurat, dan konsisten dan kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan prinsip dan kaidah bisnis yang etis. Kalau dilakukan dengan sembarangan, pembelian dan penggunaan kredit karbon malah bisa jadi mendukung greenwashing (praktik dimana perusahaan memberikan kesan bahwa ia memiliki produk yang lebih ‘hijau’ daripada sebenarnya).
Apa itu carbon offsetting?
Carbon offsetting adalah sebuah tindakan dimana seseorang atau suatu perusahaan menggunakan “penurunan emisi gas rumah kaca” (atau kredit karbon) yang dilakukan orang atau pihak lain untuk mengkompensasi atau ‘menebus’ emisi yang dia hasilkan melalui kegiatannya sendiri.
Contohnya begini: ada orang A dan ada yayasan B.
Orang A sudah menghitung jejak karbonnya selama tahun 2020, hasilnya adalah sebesar 100 ton CO2-ekuivalen per tahun (100tCO2e). Karena ia ingin jadi bagian dari solusi isu perubahan iklim, ia ingin menebus seluruh jejak karbonnya ini menjadi nol. Bagaimana caranya?
Salah satu cara mengurangi emisi gas rumah kaca di atmosfer adalah penyerapan emisi oleh hutan. Maka A mengunjungi sebuah situs web dimana ia bisa menemukan kegiatan Yayasan B, yaitu penanaman hutan kembali (reforestasi) agar hutan semakin lebat. Yayasan B membutuhkan dana untuk operasional reforestasinya; caranya menggalang dana adalah dengan menjual kepemilikan akan “penyerapan emisi gas rumah kaca” (kredit karbon) yang berhasil diserap oleh hutannya. Maka, A mendanai kegiatan reforestasi dengan cara membeli kredit karbon Yayasan B sebanyak 100 tCO2e melalui situs web dan memperoleh sertifikat kepemilikan kredit karbon sebagai buktinya. Dengan pembelian ini, A bisa mengkompensasi emisi gas rumah kacanya dan dapat menyatakan dirinya netral karbon (‘carbon neutral’, atau emisi nol) pada tahun 2020.
Dengan melalukan pembelian, A berkontribusi terhadap usaha mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui pendanaanuntuk kegiatan reforestasi Yayasan B. Seringkali kegiatan semacam ini kesulitan mendapat pendanaan dari perusahaan swasta, pemerintah, atau donasi. Kalau tidak ada kegiatan ini, bisa jadi hutan gundul dan tidak ditanam kembali. Hal ini tentunya berlaku juga untuk pembelian kredit dari kegiatan mitigasi lain seperti konservasi hutan, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan, pengelolaan sampah, dan lain-lain.
Carbon offset harus memenuhi kaidah bisnis etis
Carbon offsetting dan credit offset (kredit karbon) bukan barang baru. Konsep ini pertama kali dikenal secara global pada tahun 2008 melalui sebuah mekanisme PBB yang bernama Clean Development Mechanism atau CDM. CDM kemudian diikuti oleh berbagai program lain di luar mekanisme PBB. Sayangnya, beberapa dari program ini tidak berbisnis secara etis dan ‘mencoreng’ nama pasar karbon. Seiring pertumbuhan pasar karbon dan adanya tren negatif ini, para ahli ekonomi dan perubahan iklim serta pembuat kebijakan menyepakati prinsip-prinsip dan kaidah pasar karbon yang etis untuk menjamin kredit karbon yang dibeli oleh perusahaan atau individu benar-benar berperan dalam memitigasi perubahan iklim dan dapat dibuktikan secara ilmiah.
Mengacu ke contoh di atas, Yayasan B harus memastikan kegiatan reforestasi yang mereka lakukan dan kredit karbon yang mereka jual memenuhi kaidah-kaidah pasar karbon. Kalau tidak, bisa jadi konsumen malah jadi mendukung greenwashing.
Kredit karbon yang dijual di pasaran harus nyata, dihitung secara akurat dan dipantau menggunakan metodologi ilmiah yang diakui, punya nilai tambah, diverifikasi secara independen, dan digunakan hanya oleh satu pihak.

Produsen kredit karbon seperti Yayasan B tidak selalu menjual kreditnya langsung ke pembeli A yang akan melakukan carbon offset. Seringkali kredit dijual secara borongan ke pembeli pihak ketiga yang akan menjualnya lagi ke pembeli akhir. Dalam kondisi tersebut penjual dan pembeli borongan perlu memastikan bahwa kredit yang akan dijual memenuhi persyaratan di atas, karena pada akhirnya klaim carbon offsetting harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap bumi dan dana yang dikeluarkan pembeli.
Nah, sudah pernah beli kredit karbon atau melakukan carbon offsetting? Sudah cek belum, apakah perusahaan tempat kamu membeli sudah memastikan kegiatan penurunan emisinya memenuhi kaidah di atas? Apakah kamu tahu metodologi apa yang digunakan dan apakah kreditnya sudah diverifikasi secara independen? Terima kasih atas jasamu melindungi bumi dan melakukan aksi, namun tetap hati-hati dan jadilah konsumen yang cerdas!